Thursday, September 27, 2007

Pengemis Musiman

26 September 2007

Di bagian dalam Istiqlal –jika masuk lewat pintu nomer 22– di tangga dekat tempat wudhu, Nimanwadi duduk mencangkung di anak tangga kedua dari bawah. Jari-jari tangan kanannya mengusap-usap permukaan beberapa keping uang koin layaknya ibu yang mengelus-elus pantat bayinya. Ia sedang ngrasani angka yang tercetak di koin-koin itu sebab matanya memang tak bisa mendukung otaknya untuk menghitung.



“Sana, duduk disana!” usirnya ketus sambil menunjuk anak tangga lain di atasnya kepada saya yang meminta izin untuk duduk di dekatnya. Setelah dijelaskan, barulah ia mahfum saya hanya ingin ngobrol, bukan hendak merebut periuk nasinya.

Entah berapa usia lelaki ini. “Waktu pemilu tahun 1977, saya didaftarin (sebagai pemilih –red). Padahal umur saya belum cukup,” katanya memberi petunjuk soal umurnya. Meski begitu, wajah dan kulit tangannya yang keriput bicara lain. Mungkin derita hidup membuatnya jadi cepat tua, layaknya orang berusia 60 atau 70 tahunan.

Di kepalanya tersemat peci hitam yang belum lusuh. Kontras dengan wajahnya yang keriput nan kurus. Di anak tangga ketiga, tas gendong miliknya tergeletak. “Isinya hanya baju sesetel,” jelasnya. Dua hari sekali, ia kembali ke rumahnya di daerah Tangerang untuk menukar pakaian. Setelah sehari berkumpul bersama janda beranak tiga yang dinikahinya Januari lalu, ia kembali ke Istiqlal.

Sejak lima tahun lalu, ketika penanggalan arab menunjukan bulan Ramadhan ia selalu melakukan “itikab” di masjid Istiqlal. Shalat, mengaji Al Qur’an di malam hari, dan melakukan amalan-amalan lainnya. Bedanya, selesai shalat Dhuhur hingga menjelang Ashar ia kembali duduk di anak tangga itu. Menanti recehan mengalir ke tangannya. “Ini hanya untuk biaya hidup selama disini saja,” katanya berkilah.

Niman tak sepanjang tahun hidup dari belas kasihan orang lain dengan mengemis. Meski dari situ, ia bisa mengantongi sekitar Rp 15 ribu sehari. Profesi sebenarnya adalah tukang pijit, layaknya kebanyakan tunanetra.

Meski asli orang Tangerang, Niman yang kehilangan penglihatan sejak kecil pernah tinggal di Bandung. Saat ia masih berbau kencur, orangtuanya yang pekerja serabutan mengadu nasib ke Bandung dan memboyongnya kesana. Karena tak mampu membiayai hidup Niman, orangtuanya lalu menitipkannya ke sebuah yayasan sosial. Di sinilah Niman belajar memijit selama dua tahun. Keterampilan yang sebenarnya sudah ia miliki saat tinggal selama setahun di sebuah panti sosial di Tangerang.

Setelah tiga tahun di Bandung, ia dan orangtuanya kembali ke Tangerang. Oleh bapaknya, Niman lalu dititipkan di sebuah pesantren di daerah Rawamangun hingga ia menamatkan pendidikan aliyah. Selepas sekolah, Niman mencoba melamar pekerjaan ke berbagai tempat. Namun, tak banyak lowongan buat orang sepertinya.

Sampai akhirnya, ia mendapat informasi tentang sebuah perpustakaan di Jakarta yang menyediakan koleksi Al Qur’an Braille. Dengan sisa semangatnya yang terakhir, ia menawarkan diri untuk bekerja di tempat itu. “Saya nyoba ngelamar jadi petugas khusus untuk membacakan huruf Braille,” terangnya. Jawaban belum ada lowongan membuat Niman seperti tersadar bahwa satu-satunya pekerjaan yang tersisa buatnya hanyalah menjadi tukang pijit.

Ia lalu kembali ke Tangerang dan membuka praktik pijat di rumah orangtuanya. Kali ini nasib mujur menyambanginya. Meski jarang dikunjungi pasien, sehari ia bisa mengantungi Rp. 10 ribu. Sekitar tahun 1998, bersama beberapa teman seprofesi Niman membuka panti pijat di sebuah kontrakan di Tangerang. Namun dua tahun kemudian, ia kembali berpraktik di rumahnya. “Kontrakan itu mau dipake sama yang punya. Jadi panti pijatnya bubar,” tuturnya.

Menjelang Ashar, Nimanwadi beranjak dari duduknya. Dengan tertatih-tatih, ia menuju tempat wudhu yang berada tak jauh darinya. Usai menyucikan diri, insting memandunya ke lantai dua untuk shalat berjamaah. Setelah berzikir barang lima menit, ia kembali ke tempatnya semula. Duduk mencangkung menanti receh dari tangan para pemurah yang tak takut diancam pidana kurungan atau denda oleh pemerintah. Menjelang berbuka puasa, Nimanwadi berbaur dengan yang lain menanti makanan gratis.

No comments: