Thursday, September 27, 2007

Nasi Goreng

26 September 2007

Tiga tahun lalu, Udin diboyong Amin, kakaknya ke Jakarta. Alasannya, masa depannya di kampung sebagai buruh tani tidak akan pernah cerah. Rp 7 ribu sehari tidak akan cukup untuk membangun kehidupan yang layak meski hanya di kota kecil, Tegal. Terbayang kesuksesan sang kakak yang mampu meraup Rp 15 ribu sehari di Jakarta, ia meninggalkan orangtua, teman, kampung halaman, dan bau lumpur sawah.


Udin tak ingat kapan tepatnya ia pertama kali menginjakan kaki di ibu kota. Yang ia tahu, sejak hari itu, dirinya menjadi asisten sang kakak. Pukul enam pagi, ia belajar berbelanja sayur, telur, dan minyak di pasar. Sore hingga malamnya, ia belajar menghapal pengapnya jalanan, sembari sesekali menarik gerobak. Jika pembeli menyapa, Udin belajar mengiris sawi dan kol serta menakar nasi dan mie. Lalu mengantarkan nasi goreng, mie goreng, atau mie rebus pesanan itu.

Tubuhnya yang kurus ceking tak terbiasa bekerja begitu rupa. Maka, begitu sampai di kontrakan sang juragan gerobak, ia menggolekan tubuhnya dilantai beralaskan tikar bersama 24 teman sekampung dan seprofesi lainnya.

Seminggu kemudian, Udin diperbolehkan berdagang sendiri. Rupanya Amin berhasil meyakinkan si juragan bahwa adiknya telah mampu menyerap keahlian memasak nasi goreng, mie goreng, dan mie rebus. Udin juga mampu berhitung karena sempat bersekolah hingga kelas tiga SD. Soal daya tahan tubuh, meski ceking dirinya terbukti mumpuni mencangkul sawah paska drop out SD hingga menjelang usia 17 tahun.

“Pertama kali saya dikasih gerobak kecil,” kenangnya. Gerobak kecil yang dimaksud Udin adalah gerobak yang hanya memiliki dua roda sehingga tak terlalu berat jika ditarik. Karena ukurannya ini, dagangannya tak terlalu banyak. “Paling 4,5 kilo semalam,” katanya dengan logat Tegal yang masih kental.

Gerobak plus perlengkapan semacam kompor, wajan, gelas, dan piring ia sewa Rp 26 ribu semalam. Duit segini sudah termasuk fasilitas menginap gratis di kontrakan milik sang juragan di kawasan Manggarai. Ditambah harga bahan-bahan lain seperti sayur, telur, dan minyak total semalam ia harus mendapatkan uang lebih dari Rp 100 ribu jika tak ingin buntung alias nombok. “Kalo sepi kayak malam ini, kayaknya ya bakalan nombok,” keluhnya kala saya temui di tempatnya mangkal.

Berkali-kali Udin mewanti-wanti saya untuk tak menuliskan tempat ia mangkal. “Nanti repot, mas,” katanya. Soal ini, Udin mengaku masih trauma. Di suatu malam sekitar dua bulan yang lalu, gerobak plus barang-barangnya yang lain diangkut paksa oleh petugas Tramtib. Selama tiga hari setelah peristiwa naas itu, ia pontang-panting mencari pinjaman Rp 300 ribu. “Buat nebus gerobak,” jelasnya.

Sebulan sekali, ia balik ke kampung menjenguk kedua orangtuanya yang telah renta. Sekalian menyerahkan uang untuk biaya hidup keduanya. Tapi sudah dua bulan ini ia tak mudik. uang tabungannya habis untuk membayar cicilan utang yang kini masih bersisa Rp 50 ribu. “Bulan depan mau dilunasin,” katanya pendek.
Udin bertutur, saat masih kelas satu SD, ia pernah ditanya oleh gurunya, “Apa cita-cita kamu, Din?” Ditanyai seperti itu, ia hanya diam saja. Potret hidup ayahnya yang suram membuatnya takut untuk bermimpi. Ia tak hendak menjadi seperti ayahnya yang pernah jadi sopir truk, satpam, hingga kuli angkut di pelabuhan di pasar. Namun tak berani pula ia untuk bermimpi jadi dokter atau presiden. Maka, setelah berpikir sejenak, ia menjawab pendek, “Mau punya uang banyak, bu guru.”

Mimpi punya uang banyak itulah yang menguatkan Udin untuk terus menarik gerobak. Jadwal kerjanya dari pagi pukul enam hingga lewat tengah malam. Makna istirahat dan refreshing baginya sederhana dan cukup diwakili satu kata. Tidur. Soal yang satu ini, orang kantoran kebanyakan masihlah mendingan. Masuk jam 9 pagi pulang jam 5 sore. Jika lewat maka akan dihitung lembur dan masih punya cukup waktu untuk bercengkrama bersama istri dan anak serta teman. Bekerja tak kurang dari 18 jam sehari, paling banyak take home pay Udin hanya sekitar Rp 15 ribu.

Udin bukan tak mau punya gerobak sendiri. Ia bisa saja mengumpulkan uang satu juta rupiah untuk membeli gerobak. Namun ini berarti ia harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar kontrakan. “Lagipula gerobaknya nanti taro dimana?” tanyanya.

Lelaki ceking yang wajahnya ditumbuhi jerawat ini, cukup senang dengan keadaannya sekarang. Meski sadar tak bisa jadi orang berduit jika terus seperti ini, minimal ia tak ngrasani kesepian di perantauan. Di Jakarta ini, Udin merasa punya cukup banyak saudara se daerah, baik yang senasib maupun tidak. “Kalo orang Jawa pergi, Jakarta ini sepi, mas. Gubernurnya saja orang Jawa, kok,” tuturnya sembari menyeringai.

Malam Jakarta semakin larut. Di atap langit yang cerah, bulan penuh bertengger indah di peraduannya. Seorang pengendara sepeda motor menghampiri kami dan memesan nasi goreng. “Jangan terlalu pedas!” ingat si pembeli. Sambil menyiapkan pesanan, sesekali mata Udin liar mengawasi keadaan. Takut-takut gerombolan Tramtib kembali menggaruknya.

No comments: