Tuesday, May 23, 2006

PARTAI POLITIK LOKAL DI ACEH, ANTARA MITOS DISINTEGRASI DAN TRIBALISME

Partai Politik Lokal kembali menghangat dalam kehidupan berdemokrasi di Indonesia, dan saat ini akan diterapkan di Aceh sebagai salah satu konsekuensi dari perjanjian Helsinki pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005 lalu antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).


Partai politik lokal bukanlah sesuatu yang baru dalam sistem kepartaian di Indonesia. Parpol lokal tumbuh bersama parpol nasional –juga organisasi sosial politik yang disetarakan dengan parpol- sejak terbitnya maklumat Pemerintah RI tanggal 3 November 1945 yang berisi anjuran mendirikan parpol dalam rangka memperkuat perjuangan kemerdekaan (Partai Politik di Indonesia (1994), PK Poerwantana).

Parpol lokal yang tumbuh saat itu antara lain Partai Persatuan Daya di Kalimantan Barat; Angkatan Kesatuan Umat Islam (AKUI) di Jawa Timur; Partai Rakyat Desa (PRD) di Jawa Barat; Gerinda di Jawa Tengah, Partai Indonesia Raya (PIR) di Nusa Tenggara Barat dan lain-lain. Pengalaman Pemilu 1955 menunjukkan bahwa dari 52 kontestan, hanya 27 parpol dan satu perorangan yang meraih kursi. Kursi parlemen dan konstituante didominasi empat parpol nasional yaitu PNI, Masyumi, PNU, dan PKI. Namun, sistem kepartaian ini di era demokrasi parlementer tidak bertahan lama. Sejak 1959 hingga 1964, Presiden Soekarno berulangkali mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) pembubaran parpol.

Wacana partai politik lokal di Aceh bukannya tidak menuai kontroversi, tercatat PDI-P sebagai partai politik nasional yang menolak konsep ini dengan alasan-alasan yang kesemuanya mengarah kepada persoalan integrasi bangsa. Pertengahan Februari lalu, Gus Dur bahkan menginstruksikan kepada seluruh anggota Fraksi PKB di DPR untuk menolak rancangan undang-undang (RUU) tentang pemerintahan Aceh (ANTARA News, 18 Feb 2006). Padahal, RUU ini diharapkan menjadi payung hukum bagi keberadaan partai politik lokal di Aceh dan bersifat spesial. Ketakutan ini terlalu dibuat-buat, sebab jaminan parpol lokal tidak bertentangan dengan NKRI itu sudah ada dalam RUU Pemerintahan Aceh Versi DPRD Aceh dan Versi Departemen Dalam Negeri. Dalam dua draf itu diatur bahwa partai politik lokal dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Parpol lokal juga dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI.

Penolakan terhadap gagasan parpol lokal mencerminkan ketakutan elit politik nasional kehilangan pengaruh dan kekuasaan di Aceh, mengingat selama ini mereka tidak pernah peduli dengan nasib rakyat Aceh. Buktinya, mereka membiarkan rakyat Aceh menderita selama operasi-operasi militer. Kedua, pencalonan kepala daerah dan anggota legislatif Aceh tidak pernah mempertimbangkan faktor kedekatan dengan rakyat ---sehingga diharapkan lebih aspiratif---, tetapi lebih kepada kepentingan elit politik nasional.

Alasan penolakan yang kedua adalah persoalan pengelolaan sumber daya alam. Aceh yang kaya gas bumi dan sumber minyak yang belum dieksplorasi adalah ladang dan tabungan uang elit politik nasional. Kasus Cepu baru-baru ini, menjadi bukti nyata betapa elit politik nasional mampu bersilat untuk mendapatkan jatah preman dari Exxon Mobil.

Parpol Lokal Memancing Tribalisme di Aceh
Persoalan politik lokal di Aceh saat ini tidak bisa dipahami secara sederhana hanya sebagai perebutan penguasaan atas proses pengambilan kebijakan-kebijakan, baik politik, ekonomi, budaya, dll., antara elit politik nasional dan elit politik daerah Aceh. Ia lebih kompleks daripada persoalan pembagian kewenangan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya di Aceh, atau persoalan penindasan dan ketidakadilan yang ditimpakan pada masyarakat Aceh. Tapi politik lokal di Aceh dalam kerangka partai politik lokal juga berbicara tentang bagaimana partai politik lokal yang dibentuk di Aceh mampu melakukan fungsi agregasi kepentingan, agar Aceh bisa menjadi satu kesatuan yang yang tidak mudah dipecah-belah oleh kepentingan luar, baik itu oleh elit politik nasional, maupun kepentingan asing. Ini menurut saya yang harus diutamakan oleh partai politik lokal yang nantinya akan dibentuk di Aceh setelah RUU-PA disahkan oleh DPR-RI.

Ini harus diperhatikan, mengingat Aceh dibentuk oleh heterogenitas suku-suku yang eksis di sana. Berdasarkan hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik tahun 2000, terdapat 15 kelompok suku utama, serta kelompok suku lainnya yang jumlahnya lebih sedikit. Suku-suku itu adalah Aceh, Jawa, Gayo Lut, Gayo Luwes, Alas, Singkil, Semeulu, Batak, Minang, Sunda, Banjar, Banten, Madura, Bugis dan Betawi (Leo Suryadinata, et. al. 2003. Indonesia's Population: Ethnicity and Relegion in a Changing Political Lanscape. Singapore: ISEAS, hal. 15). Bencana Tsunami yang melanda Aceh akhir Desember 2004 lalu juga tidak mengubah heterogenitas ini.

Keinginan dan kemampuan partai politik lokal yang nanti dibentuk di Aceh untuk mengakomodir seluruh kepentingan elemen masyarakat Aceh ---dalam hal ini suku--- akan membuktikan apakah mereka (partai politik lokal) adalah suatu organisasi politik yang benar-benar merepresentasikan masyarakat Aceh secara keseluruhan, atau hanya organisasi kepentingan kelompok tertentu saja. Tentunya kita semua tidak ingin perubahan politik di Aceh malah membawa perpecahan di dalam tubuh bangsa Aceh. Semoga.

2 comments:

Anonymous said...

Gus Dur tau apa tentang Aceh! Buta + kelainan jiwa mau kasih pendapat tentang Aceh! Gak laku tau...

Buat Gus Dur yang pernah ngaku Nabi-nya orang Aceh, sebenarnya Anda itu Dajjal-nya orang Aceh.

Kajak ho röt keudéh kah hay Dajeuë paléh...

Al-Fiyanki

tedybanka said...

Salam,

Wah, kayaknya kesel bgt nih ma Gus Dur. Banyak hal menarik dari komentar anda ini. soal Gus Dur yang punya kelainan jiwa dan dajjalnya orang Aceh teramat menarik bt didiskusikan.
So, forumnya bisa disini..

Salam,

Bukan Pendukung Gus Dur