Wednesday, February 15, 2006

Kita Butuh Tenaga Untuk Ereksi Sosial

Mubes, Muhim, dan Musta adalah moment penting yang akan sangat menentukan arah gerakan mahasiswa FISIP. Sebab dalam ketiga peristiwa besar tersebut orang-orang yang akan memimpin FISIP akan ditentukan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung orang-orang tertentu yang mencalonkan diri sebagai ketua lembaga kemahasiswaan baik di tingkat jurusan maupun fakultas. Tapi mencoba untuk menggugah kesadaran kawan-kawan mahasiswa bahwa ada satu kondisi memilukan yang mengancam progresifitas gerakan mahasiswa FISIP. Kondisi yang saya maksudkan ini adalah pengkebirian terhadap organ baik intra maupun ekstra melalui ancaman akademis.


Kita butuh tenaga dan keberanian untuk melakukan ereksi sosial (baca: perubahan secara bersama), tapi belum sempat melakukan apa-apa, keberanian kawan-kawan secara umum telah dipotong oleh misalnya kewajiban untuk mengikuti perkuliahan minimal 75%. Lalu masalahnya dimana? Okelah jika seandainya tercipta suasana yang dialogis di kelas, terbukanya ruang kritis mahasiswa. Tapi bukankah yang terjadi selama ini adalah pencekokan doktrin-doktrin dosen kepada mahasiswa. Lalu apakah kewajiban mengikuti perkuliahan minimal 75% ini berdampak positif bagi perkembangan intelektual mahasiswa? Saya berani jawab dengan tegas, TIDAK! Harus diakui, kehadiran mahasiswa (secara umum) di kelas tak lebih dari kewajiban membubuhkan tandatangan di daftar hadir. Hampir dapat dipastikan orang-orang yang kritis di kelas adalah mereka yang aktif di organisasi.

Baiklah, siapapun tidak bisa menafikan bahwa sebagai mahasiswa kita mempunyai kewajiban untuk belajar. Tetapi siapapun juga tidak bisa memungkiri bahwa mahasiswa sebagai makhluk intelektual memiliki tanggungjawab sosial. Sebagai makhluk intelektual, mahasiswa harus mampu melihat realitas sebagai sesuatu yang seharusnya, bukan sesuatu yang sesuai dengan kenyataannya.

Fakultas dan jurusan tidak punya itikad baik untuk mendukung aktifitas kemahasiswaan! Salah satu buktinya, dalam pertemuan dengan PR III yang dihadiri oleh ketua lembaga kemahasiswaan fakultas dan jurusan, dekanat dan pihak jurusan di FISIP, PR III menyampaikan agar hari Sabtu dijadikan hari khusus bagi lembaga kemahasiswaan untuk melakukan aktifitas, dan meminta agar jadwal perkuliahan pada hari itu diminimalisir atau sampai ditiadakan. Tetapi buktinya, kawan-kawan bisa merasakan sendiri. Artinya dibutuhkan keberanian bagi kawan-kawan yang merasa dirinya sanggup untuk memimpin mahasiswa untuk mendobrak hal ini, sembari menyiapkan kondisi internal masing-masing organ untuk melakukan pengkaderan. Kawan-kawan harus berani, jika perlu ancam birokrat dengan cara memboikot program kerja yang berbau promosi!

Saatnya menyingkirkan jauh-jauh ego pribadi dan kelompok demi kepentingan FISIP. Lembaga kemahasiswaan butuh darah baru untuk mendorong dinamika kampus yang kondusif, tidak sekadar mengisi jabatan-jabatan yang ada di struktural. Tapi sementara itu, tingkat partisipasi mahasiswa masih sangat rendah. Kawan-kawan calon pemimpin FISIP baik di tingkat jurusan maupun fakultas harus punya rumus jitu untuk menerobos kondisi ini.

Sebagai langkah awal, Saya menantang --sekaligus memberikan penawaran rumus jitu yang saya yakin tidak akan cocok untuk menebak nomor buntut-- semua calon ketua lembaga siapapun yang nantinya terpilih untuk memperjuangkan dispensasi khusus bagi aktifis lembaga kemahasiswaan yang ada di FISIP secara bersama! Jika tidak berani, lebih baik mundur saja dari sekarang. Sebab, menurut hemat saya, dispensasi khusus ini akan meningkatkan tingkat partisipasi mahasiswa FISIP yang konon telah menjadi momok klasik dalam lembaga kemahasiswaan. Jika tidak ingin lembaga kemahasiswaan hanya menjadi sekadar Event Organizer, kenapa kita tidak bergerak bersama? Hidup Mahasiswa!

No comments: