Wednesday, February 15, 2006

Mangkir

Katakanlah bahwa semenjak tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak hingga pada tahun 1998 mencapai angka 7,2 juta ton! Padahal pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras. Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Kita hanya akan membatasi pembicaraan kali ini dengan hanya menyinggung sedikit saja soal Neoliberalisme Pertanian --- bukan karena menganggap hal itu tidak penting, tapi lebih karena persoalan keterbatasan halaman.


Masih ingatkah dengan konsep Landreform yang diusung pada masa Soekarno memerintah? Konsep Landreform yang merupakan terjemaahan dari UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 tidak muncul ujug-ujug, ia ditenggarai kondisi sosio-ekonomi pertanian Indonesia yang dikuasai segelintir orang setelah diterbitkannya Agrarische Wet 1870 yang memicu terkonsentrasinya kepemilikan tanah yang luas oleh orang-orang yang mempunyai modal kuat. Landreform dimaksudkan agar terjadi distribusi kepemilikan tanah yang adil dan merata, sehingga petani mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bertani di lahannya sendiri yang berujung pada peningkatan kesejahteraan mereka. Konsep ini sebenarnya meniru apa yang diterapkan di AS pada masa pemerintahan Abraham Lincoln yang menetapkan Homestead Act 1862, dimana pemerintah mentransfer tanah-tanah negara menjadi milik petani, atau yang dilakukan Jepang pada 1868.

Landreform belum dapat berjalan secara maksimal, sebab semenjak Soeharto memimpin, konsep ini di peti es-kan. Soeharto “demam” dengan Revolusi Hijau yang terjadi di Asia Tengah, dan mengambil jalan pragmatis; Revolusi Hijau tanpa Reformasi Agraria. Cara ini dibangun di atas pondasi; hutang luar negeri, bantuan dan investasi asing, serta bertumpu pada yang besar. Hasilnya memang “sangat menakjubkan”, tahun 1984 Indonesia mampu berswa sembada beras. Namun seperti yang telah diungkapkan di atas, “masa emas” ini tidak berlangsung lama. Sebab, peningkatan produksi beras tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan petani.
Ada pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa terhadap petani, keterpaksaan ekonomi. Indikasinya jelas! Petani harus membayar sendiri hampir semua pengeluaran. Bibit unggul, pupuk buatan, dan pestisida harus dibeli mahal dari outlet-outlet Transnational Corporation (TNC), tanah harus disewa, tenaga buruh harus dibayar, dan di beberapa wilayah fasilitas irigasi hanya dapat dimanfaatkan dengan biaya yang tidak kecil pula. Untuk petani yang memiliki lahan luas (lebih dari 0,5 hektar) memang masih mendapatkan keuntungan. Tapi bagi petani yang mempunyai lahan sempit (kurang dari 0,5 hektar), hanya naas yang dituai. Sekadar mengingatkan bahwa petani gurem ini adalah mayoritas, dan mereka dimiskinkan.
Tidak berhenti sampai disini, penderitaan petani semakin menjadi karena mereka harus bersaing dengan TNC. Dengan biaya produksi yang demikian mahal, otomatis harga jual beras lokal harus menyesuaikan agar petani bisa mendapat keuntungan. Dalam kondisi seperti ini, mereka digempur oleh produk-produk TNC yang lebih murah. Salah satu penyebabnya adalah semenjak September 1998, atas desakan World Trade Organization (WTO) dan International Monetary Fund (IMF), pemerintah memangkas bea masuk beras impor sampai 0%! Tidak heran begitu banyak orang yang memanfaatkan “lahan basah” ini, dengan menjadi importir beras, apalagi negara maju seperti AS memberikan kredit import, sehingga angka 7,2 juta ton beras yang diimpor tahun 1998 tidak pernah turun hingga hari ini. Naiknya harga beras lokal semakin dipicu karena rantai distribusi perdagangan beras di Indonesia begitu panjang. Hampir tidak ada petani yang menjual langsung produknya ke tangan konsumen, tapi harus melalui tangan beberapa tengkulak sebelum sampai ke Bulog (Badan Urusan Logistik) untuk kemudian disalurkan melalui agen dan pengecer. Belum lagi jatuhnya harga gabah yang entah dilakukan oleh siapa.

Entah apa yang ada dibenak penguasa negeri ini. Pulau Jawa yang memiliki lahan potensial untuk pertanian terus-menerus “ditanami” beton dan industri, sehingga lahan pertanian menjadi semakin sempit, dan urbanisasi besar-besaran melanda kota-kota besar di Jawa, sebab tidak ada lagi harapan di desa. Sentralisasi memang sungguh menyakitkan!
Lalu apa yang akan dilakukan pemerintah menyikapi hal ini? SBY telah meraih gelar Doktor di bidang pertanian. Beberapa saat sebelum menjalani ujian, ia diwawancarai sebuah stasiun televisi swasta. Ketika ditanya kenapa ia tertarik masalah pertanian, ia menjawab dengan bersemangat; “Indonesia adalah negara agraris, dan kita punya potensi besar untuk mensejahterakan rakyat lewat pertanian.” Namun, program kerja 100 hari SBY tidak satu pun yang dapat memberi perubahan besar pada sektor pertanian kita. Saya tidak bermaksud hanya menyudutkan SBY, sebab jika anda menyimak benar-benar tulisan ini sedari awal, secara eksplisit maupun implisit saya mengatakan semenjak era Soeharto hingga sekarang, tidak ada satu pun pemimpin negara ini yang berusaha secara serius memperbaiki sektor pertanian kita. Di negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa (UE) terjadi keseimbangan antara pembangunan industri dan pertanian. Tidak aneh ketika AS misalnya mengekspor beras walaupun mayoritas penduduknya tidak menjadikannya sebagai makanan pokok.
Saat ini Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) diketuai oleh Prabowo Subianto. Apa yang ingin dilakukan purnawirawan TNI yang juga menantu Soeharto ini di HKTI. Menapak karier politik seperti Siswono Yudhohusodo, atau melakukan apa yang menjadi janjinya; Menaikan taraf hidup petani dan akan mendesak pemerintah untuk memberlakukan kebijakan-kebijakan yang memihak petani?

Dari apa yang telah saya paparkan tadi, sebenarnya kunci penyelesaian masalah ini ada pada pemerintah. Yaitu melalui penetapan kebijakan yang memihak pada petani, antara lain; memberikan subsidi untuk petani, menjaga lahan pertanian di Jawa sembari mencari daerah pertanian alternatif, memangkas jalur distribusi produk pertanian, pembatasan impor beras dan produk pertanian lainnya dengan cara penetapan kuota dan menaikan tarif bea masuk, serta memberantas mafia pertanian. Untuk langkah awal, pada 1 Januari 2005 nanti, batas waktu perundingan pertanian WTO akan berakhir. Itulah saatnya SBY membuktikan komitmennya untuk mensejahterakan rakyat Indonesia.

-Berdasarkan berbagai sumber

No comments: