Mungkin Karena Mira
Saya tidak begitu kenal Soe Hok Gie, maka ketika salah seorang aktivis di FISIP menawarkan pada saya untuk menjadi pembicara dalam diskusi membedah pemikiran Gie, saya hanya menjawab; “Wah, lebih baik orang lain saja, sebab jangankan pikiran Gie, pikiran saya sendiri terkadang sulit untuk saya pahami.” Sosok dan pemikiran saudara kandung Arif Budiman itu saya ketahui hanya selintas, dulu, dalam obrolan-obrolan kecil bersama teman-teman, juga hasil membaca ala kereta api ekspress Jurusan Jakarta-Bandung beberapa tulisan yang menyangkut dirinya. Makanya, saya tidak berani ambil resiko seolah-olah orang yang paling tahu, tentang lelaki yang sebenarnya tidak saya tahu ini. Lagipula dalam pemahaman saya yang sederhana ini, membedah pikiran seseorang bisa berarti yang tidak jauh berbeda dengan membedah anggota tubuh yang sakit. Sumber sakit ini dibuang atau diobati agar jadi sehat, seolah-olah pikiran Gie sakit, maka harus diluruskan. Bisa juga berarti membedah tubuh orang mati untuk dipelajari struktur jaringan kulit, tulang, dan sarafnya, yang berarti proses memahami pikiran Gie agar bisa diambil manfaatnya, supaya kalau nanti ada biji cabe yang nyangkut di usus buntu, kita bisa tahu bagaimana cara mengatasinya.
Di pojok yang lain, seorang teman yang kalau ke kampus hanya untuk kuliah, lalu nongkrong di tangga, atau kalau dalam istilah teman-teman di Jogja “Goody-goody Student” tiba-tiba memakai pin di dada dengan muka Gie terpampang di atasnya. Saya memang belum pernah bertemu orang yang memakai kaos yang berhubungan dengan Gie, baik namanya, wajahnya, telapak kakinya, atau pantatnya.
Awalnya saya kaget ketika begitu banyak teman yang tiba-tiba mengucapkan kalimat; “Lebih baik saya diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”, yang terkadang diucapkan dengan serius, bahkan kadang bercanda. Seorang teman yang saya kenal humoris memelesetkannya menjadi; “Lebih baik dikucilkan daripada tidak menjadi Komdis”, mungkin karena memang di kampus saya ini sedang musim-musimnya persiapan Ospek.
Yang tidak membuat saya kaget adalah ketika seorang kenalan yang memang terkenal rajin menulis dan pintar mencari moment untuk dijadikan bahan tulisan mengupas habis sosok Gie dalam tulisannya. Tapi, saya tidak tahu kenapa Kompas dalam iklannya di televisi juga menggunakan Gie sebagai “pemanis”.
Saya kurang bisa merangkaikan kejadian-kejadian di atas, apa itu semua terjadi gara-gara Mira Lesmana dkk., membuat film tentang almarhum, sebab sepanjang yang saya tahu, sebelum film itu diputar di bioskop, popularitas Gie tak jauh beda dengan Tan Malaka, beda-beda tipis dengan keterkenalan Emha, serta sederet orang-orang hebat bangsa ini, keterkenalannya mungkin hanya sampai pada teman aktivis saya, atau kenalan penulis saya, dan tentunya orang-orang lain yang rajin ngulik.
“Ndak apa-apa tho, biar masyarakat kita bisa ngerasa punya pahlawan, bisa punya seorang yang bisa dibanggakan, dan nggak perlu cari bule untuk dijadikan semacam Superman,” begitu ucap seorang teman baik saat saya ngobrol dengannya.
Iya, mbak, jawab saya dalam hati ketika itu. Saya itu parno, masyarakat kita itu kan mudah sekali GR, gara-gara media massa nampilin Inul menggoyangkan pinggulnya, tua-muda, lelaki-perempuan, jadi koran berjalan, sibuk merhatiin dan ngomongin Inul dengan kadar pengetahuan dan kepentingan masing-masing. Sekarang, pun tidak jauh berbeda, kita jadi demam Gie. Kalo dia masih hidup, mungkin rekor yang dipegang Audy sebagai penandatangan terbanyak akan diserahkan Muri padanya.
Seandainya hari ini media massa beramai-ramai memberitakan SBY bilang ia mimpi dapet wangsit dari mbah anu, tentang cara mengatasi persoalan seratus juta rakyat miskin di Indonesia, maka dengan menggunakan berbagai pisau analisis, baik kejiwaan, mental, politik, ekonomi, perdukunan, dan seabrek metode, maka saya bisa menjamin kita yang latah ini bakal ikut-ikutan tersedot perhatiannya, dengan bermacam jenis kelatahan, baik itu sekadar berkomentar, ikut melakukan analisa, atau bahkan tersenyum gaib.
Saya memendam khawatir yang mungkin berlebihan kita men-Che Guevara-kan Gie gara-gara tangan gaib kekuatan modal yang pintar cari peluang, lalu kita hanya mampu mengenal wajah dan ucapannya yang terkenal itu tidak lebih dari sekadar wajah dan ucapan yang indah, tanpa bisa menggali lebih dalam semangat dan idealismenya untuk dijadikan bahan acuan, agar nanti kita semua masing-masing bisa bilang; “Gie itu bukan apa-apa, selain karena sudah almarhum, tapi yang lebih penting bahwa saya bisa berbuat lebih daripadanya.”
Menurut saya, ini salah satu manfaat yang bisa kita ambil dari gonjang-ganjing Gie. Memendekarkan diri kita masing-masing, untuk melakukan sesuatu yang lebih baik menurut takaran dan cara masing-masing buat bangsa ini, bukan hanya menjadi korban yang tak sadar dirinya sedang dijajah.
Ibarat malam (massa plastis amorf dari bahan mineral), kita ini gampang di apapun, dibikin jadi bentuk rumah-rumahan, orang-orangan, mobil-mobilan, pesawat-pesawatan, bahkan tai-taian yang ngejogrok di pinggir jalan. Yang hebat itu bukan kita, tapi sesuatu yang menggerakan si senimannya, orang yang mengkonstruksi kita jadi gampang dibentuk-bentuk. Dalam persoalan Gie yang tiba-tiba jadi terkenal, anda telusuri saja siapa arsiteknya, Mira Lesmana dkk., modal, atau kebodohan kita, atau apa.
Realitas adalah buah cipta si seniman melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap lingkungannya. Intinya kita ini sadar atau tidak telah direkonstruksi, atau malah yang kita miliki hanyalah “kesadaran palsu”. Kita memang memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosial dimana kita berasal. Tapi kemampuan setiap orang untuk merekonstruksi realitas sosial yang disodorkan ke mukanya berbeda-beda tergantung field of experience, keilmuan dan pengetahuan, serta kepentingan masing-masing.
Jika si Pulan dikasih tahu pak RT nanti coblos si anu dalam Pilkada, ia akan menanggapinya lewat tiga hal tadi. Berdasarkan pengalaman, Pulan yang telah mengabdi jadi tukang becak selama belasan tahun, mungkin manut daripada dibilang subversif, lalu becaknya dialihfungsikan jadi penahan gelombang di Teluk Jakarta. Atas dasar apa yang dimilikinya di kepala, Pulan yang tidak tamat SD dan tidak bisa baca tulis, mungkin akan bertanya si anu mukanya seperti apa, jambangan, kumisan, pakai kopiah atau tidak. Mungkin Pulan juga akan melihat seberapa besar uang yang dikasih pak RT, untuk nyoblos si anu.
Naasnya, jumlah orang-orang semacam Pulan di negara yang punya cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya, ini, cukup banyak di sekitar kita. Tapi yang lebih menyedihkan tentunya, mahasiswa yang punya dasar pendidikan tinggi, tapi menanggapi realitas Gie hanya sebagai sebuah film, lalu beramai-ramai mengenakan pin, baju, dan celana dalam dengan muka Gie menempel, dan menggemuruhkan kalimat; ”Lebih baik saya diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan”, tapi dengan pemahaman yang tidak lebih dari gambar dan ucapan yang indah. Semoga saya hanya parno.
Bandung, 7 Agustus 2005
No comments:
Post a Comment