Saturday, December 17, 2005

cerpen1

Semua Bicara Sama

Pada perjalanan ini kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan yang masih asing, gelap, dan becek. Tanganku kusibakan ke kiri dan ke kanan menghalau aral yang merintang. Guratan-guratan merah memanjang bagai halilintar, tapi ia berasal dari kulit tanganku yang gelap. Tanganku yang lelah memberi ruang gerak bagi tubuhku yang kurus kerempeng menuju tempat tujuan berikutnya.

Tiba di sebuah kampung kecil di kaki gunung yang sepi aku memandang kearah pintu-pintu yag tertutup rapat. Kearah daun jendela-daun jendela yang sedikit terkuak yang menyembulkan tatapan asing nan mencurigai. Aku adalah Maximus yang kebingungan ditengah sorak-teriak burung-burung dan binatang hutan lainnya. Sementara hanya aku sosok manusia yang kelihatan utuh fisiknya. Yang lain hanya memberikan kesempatan padaku untuk menelisik mata-mata yang amat samar.

Ibuku pernah berkata, kita semua adalah orang asing ketika tak mampu bersahabat dengan keadaan. Maka, demi mengingat ucapan ibuku itu, aku mulai melemparkan senyum ke arah mata-mata yang mengintip dibalik daun jendela-daun jendela. Sedikit demi sedikit pintu-pintu yang menghadap ke arahku mulai terbuka, kepala-kepala kecil menyembul. Di wajah anak-anak itu tergurat satu pesan untukku, pesan tentang pemiskinan yang menimpa mereka.

Lalu satu-persatu malaikat-malaikat kecil itu mengendap-endap menghampiriku dengan kaki kurus yang telanjang. Menusukku dengan pandangan yang mengerikan, memperhatikan dengan tajam ke arah ransel yang kupanggul. Mencoba mencari celah untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa dimakan di dalamnya. Tentu aku punya, tapi itu hanya cukup unuk bekalku sampai di tempat tujuanku selanjutnya. Tapi tubuh-tubuh yang telanjang itu menghalangiku untuk tidak peduli pada mereka, jiwa dengan tubuh-tubuh dekil yang hanya berbalut kulit dan sedikit daging.

Maka, demi Tuhan aku mulai membuka ransel dan mengeluarkan seluruh isinya. Dua potong kaus oblong, baju hangat yang telah mulai rapuh di siku-sikunya, sehelai jeans belel, peralatan mandi, peralatan masak, HP, dan benda terakhir yang mereka tuntut dariku, makanan. Aku menata barang-barang itu dihadapan mereka yang mengerubungiku, seolah-olah menjelaskan pada mereka, Hei aku tidak mencuri rezeki kalian. Tapi baiklah, demi memuaskan pandangan mereka yang tak cukup puas, aku mulai menyalakan kompor gas. Mengisi panci kecil itu dengan air mineral. Tak menunggu sampai panas, aku menyobek pembungkus sebungkus mie instant, dan menumpahkan isinya ke dalam panci.. Dengan bahasaku, aku menyuruh mereka mengambil piring dan sendok. Rupanya mereka mengerti –tentu saja mereka mengerti, sebab aku sebangsa dengan mereka–, tubuh-tubuh itu membalik dan menuju pintu-pintu tempat mereka keluar tadi, meninggalkan pada mataku tulang-tulang punggung yang menonjol dan beberapa pantat kempot.

Mereka kembali dengan piring kaleng yang sebagian sudah ditambal di pantatnya, tanpa sendok. Duduk melingkariku menengadahkan piring kosong dengan kedua tangannya Aku menuangkan isi panci yang pertama ke piring anak pertama, bocah laki-laki berambut merah kusam, dengan wajah yang menonjolkan belulang. Mengenakan celana seragam sekolah yang tak lagi berwarna merah berganti coklat warna debu dan kotoran. Aku kembali menyobek pembungkus sebungkus mie instant, meletakannya diatas panci, mengucurkan air di atasnya,mengaduk-aduk, lalu menuangkan ke piring-piring yang ditadah. Dua, tiga, empat, lima, sudah semuanya. Tak ada lagi mie instant yang tersisa.

Aku terkejut ketika mereka belum juga memindahkan isi piring ke perut masing-masing, posisinya masih tetap seperti ketika piring-piring tersebut kosong. Hanya saling menatap diantara mereka, lalu serentak menatap kearahku dengan pandangan tajam. Apa mereka tidak puas dengan apa yang telah kuberikan. Apakah mereka menuduh aku menyembunyikan makanan lain, di bagian tersembunyi dari ranselku? Sial, tak tau diuntung setan-setan kecil ini, makiku dalam hati. Tiba-tiba anak ketiga berlari ke dalam gubuknya, menggeletakan begitu saja piringnya di atas jalan tanah yang berdebu tempat jamuan makanan ini dilangsungkan.

Terperanjatku belumlah hilang atas tindakannya tadi ketika ia lalu kembali kearah kami sambil membawa sebuah piring kaleng yang kosong. Meletakannya dihadapan piringnya yang berisi, lalu menumpahkan isinya sebagian ke piring kosong tersebut. Anak keempat, kelima, kesatu, dan kedua, melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan anak yang ketiga. Setelah semuanya selesai anak terkecil disitu menyodorkan piring tersebut ke arahku.

Seketika hatiku bagai dirajam perasaan bersalah, jiwaku tertunduk malu, menyesali makianku tadi. Lemah, tanganku menjulur menggapai piring tersebut. Aku hanya punya satu sendok, tapi sebaiknya tidak kugunakan saja. Mereka belum juga makan! Aku yang tampaknya harus memulai. Ketika aku mulai memasukan benda-benda kuning panjang itu ke mulut, satu-persatu mereka mulai makan. Tak ada suara yang keluar dari mulut kami, hanya desau angin yang membasuh dedaunan, dan sesekali kicau kenari dari dalam hutan di pinggir kampung yang menyemarakan.

Tiba-tiba tawa gelak menyembur dari mulut kami ketika seorang bocah meringis seraya mengucek-ucek matanya yang pedih dengan punggung tangan. Tadi ia berniat memasukan sejumput mie ke dalam mulutnya. Malang baginya, mie yang licin bagai belut itu terjun bebas kembali ke dalam piringnya, memercikan air pedas didalamnya ke matanya, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali meringis menahan pedih cabe.

Hanya itu suara yang keluar dari mulut kami selama perjamuan makan sederhana itu berlangsung, selain suara lidah yang mencecap-cecap rasa makanan yang mungkin saja tersisa di sudut-sudut rongga mulut, ketika tak ada lagi yang bisa menghibur dari piring-piring yang kini telah kembali kosong.

Ya, kini tak ada lagi yang bisa dimakan, dan aku tak cukup yakin kapan kiranya perut kami berteriak lagi. Aku masih punya cukup uang untuk membeli makanan ketika saat itu tiba, tapi mungkin bocah-bocah ini, hanya bisa menjelajahi kembali sudut-sudut dalam mulutnya.
Tidak ada lagi yang bisa kuperbuat disini, maka aku segera memasukan kembali barang-barangku ke dalam ransel. Menumpuknya sembarang saja karena sekarang ada banyak ruang kosong di dalamnya.

“Datanglah lagi kapan-kapan kesini, emak pandai membuat Sayur Singkong. Kakak tentu pernah makan Sayur Singkong? Emak bilang, Sayur Singkong makanan paling enak, dan aku selalu senang memakannya, sebab kata emak orang-orang di kota pun suka memakannya.” Anak yang paling besar di situ berucap padaku.
Aku menoleh padanya. Tanpa mempedulikan pandangan anehku, anak itu mulai berkata-kata lagi; “Kakak tadi tentu bertemu emak dan bapak di hutan, juga emak, bapak, dan kakak Buyung, dan yang lainnya. Mereka mencari kayu untuk dijual di kota. Kadang bapak sering membawa pulang pisang hutan. Sekarang orang-orang disini tak lagi pergi ke ladang. Sebulan yang lalu orang-orang dari kecamatan datang kesini. Kata emak, sekarang kami tak lagi punya ladang, diambil negara.”

Anak itu terdiam, matanya menatap lesu ke arah piring di tangannya yang telah kosong. “Sudah lama emak tak memasak Sayur Singkong. Tapi kalau kakak datang lagi kesini, aku bakal bilang ke emak supaya memasakan Sayur Singkong buat kakak.”
“Oh,” aku mengeluh pendek. Benar, tak ada lagi yang bisa kuperbuat disini. Ucapan anak itu semakin mendorongku untuk cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Dan aku tak berniat untuk kembali lagi kesini. Sebagian petualanganku berisi kesendirian. Sebagian besar lagi berisi kisah-kisah pahit perjalanan hidup milik orang lain yang kutemui.

Sepertinya ini akan menjadi petualanganku yang terakhir. Sebab aku yakin tak akan sanggup mendengar dan melihat lagi kisah setengah dari jumlah orang di negara ini yang bernasib sama dengan anak ini dan orang-orang di kampung ini, sebab keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan memang bukan milik mereka.

Bandung, 4 Agustus 2005




No comments: