Friday, July 27, 2007

Hacker Family

24 Juli 2007 (kl g salah inget)

Iwan Sumantri adalah Sarjana Elektro lulusan IKIP Bandung –sekarang Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Di bangku kuliah, ia belajar micro processor, micro controller, programming assembler, yang merupakan basic Information Technology (IT). Namun ia mengaku baru mengenal sistem jaringan sejak 1990. Iwan sendiri menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1991.





Tahun 1994 ia bergabung dengan Bandung One, sebuah komunitas internet radio (salah satu cikal bakal komunitas pengguna internet) yang dikelola Ono W. Purbo. Di Bandung sendiri internet masuk pada tahun 1996. Ketertarikannya di bidang IT khususnya hacking ini lebih kepada tantangan yang ditawarkan. “Saya melihat bidang ini penuh tantangan,” katanya.

Tahun 1995 ia mulai mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan jaringan di beberapa PTS di Bandung. Di tahun yang sama, ia bekerja sampingan sebagai admin (administrator) di Bappeda Jabar, sebagai freelance. Meski bukan karyawan tetap, di instansi pemerintah ini Iwan diserahi tugas membangun infrastruktur jaringan, maintenance jaringan, intranet, dan internet. “Di Jawa Barat domain pertama adalah milik Bappeda yang saya bangun ini,” terangnya.

Begitu jaringannya sudah terbangun dan berjalan normal, tak banyak lagi pekerjaan baginya. Akhirnya lelaki ini mencoba membuat program-program kecil untuk penetration testing dan assessment security. Bosan karena tak lagi dianggap menantang, Iwan memutuskan untuk keluar pada tahun 2000.

Begitu berhenti dari Bappeda, Iwan mendirikan web secure college tahun 2000. Ini adalah sebuah lembaga kursus hacking yang menjadi usaha sampingannya di luar profesinya sebagai dosen. “Bisa jadi ini kursus hacking pertama di Indonesia,” ungkapnya.

Dengan masa pendidikan selama enam bulan, peserta kursus yang kebanyakan adalah mahasiswanya diberikan belasan paket keahlian seperti Sun Solaris, linux, dan teknik hacking. Biayanya cukup murah, hanya Rp 1,9 juta per peserta per enam bulan. “Di tempat lain bisa puluhan juta,” ucapnya. Hingga kini, sudah lebih dari 300 orang yang pernah jadi peserta kursusnya.

Tak cukup hanya berbisnis, Iwan juga membentuk Web secure community yang dideklarasikan pada 3 Juli 2007, bertepatan dengan penyelenggaraan National Hacking Competition (NHC) Kedua di Bandung. Komunitas ini berawal dari beberapa mahasiswa dan peserta kursusnya, serta relasi hacker via chatting yang meminta untuk dibuatkan komunitas.
Di komunitas ini tidak ada istilah founder. Menurut Iwan, inilah yang membedakannya dengan beberapa komunitas lain, yang lebih eksklusif karena hanya menghimpun segelintir orang dan dibangun untuk kepentingan kelompoknya saja. Web Secure Community lebih terbuka termasuk dalam persoalan berbagi informasi. “Kami siap melakukan presentasi dengan pemda, kepolisian, atau pihak-pihak lain agar mereka mengerti apa itu hacking, dan melek tentang pentingnya keamanan sistem informasi," jelasnya soal salah satu tujuan komunitas ini.

Tak ada komentar miring dari para tetangganya soal aktifitas Iwan sebagai hacker. Rumusnya, ia mengaku menjalin kedekatan dengan tetangga-tetangganya. “Saya mengharuskan peserta kursus dan anggota komunitas saat azan untuk segera ke masjid,” katanya. Jurus ini terbukti ampuh. “Lagipula tetangga tidak tahu di rumah saya ada kelompok hacker. Apa itu hacker saja tidak tahu,” katanya sambil tersenyum.

Terdekat pekerjaan penetration testing dari sebuah institusi pemerintahan di Jakarta menanti Iwan dan teman-teman di komunitasnya. “Saya dapet subkontrak dari teman, seorang developer aplikasi,” jelasnya.

“Saya berharap pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar serta yang memiliki kepentingan terhadap perkembangan teknologi informasi untuk merekrut hacker-hacker yang berbakat. Mereka membutuhkan wadah profesi. Kalau tidak disalurkan akan berdampak buruk,” harapnya.

Banyak hacker yang berbuat negatif dengan menjadi carding dan cracker. “Kegiatan semacam itu membuat nama bangsa kita menjadi jelek,” katanya. Sebagai catatan, Indonesia adalah peringkat kedua soal kejahatan carding setelah Ukraina.

Yang paling berbahaya sebetulnya mereka yang sedang belajar hacking. Karena mereka belum tahu akibatnya, seperti anak kecil akibat pengetahuannya yang terbatas. “Mereka yang sudah ekspert lebih tahu akbat dan lebih arif memperlakukan ilmu yang dimilikinya,” kata Iwan.

Dewasa ini, komunitas-komunitas hacker mengarah ke hal yang positif. “Ada kecendrungan menyalurkan bakatnya ini kearah yang lebih positif. Misalnya mengikuti fun hack. Atau membuat simulasi,” tuturnya. Hal ini ditunjang oleh lomba hacking baik yang bersifat nasional maupun lokal yang diadakan di Jogja dan Bandung. “Beberapa waktu ke depan akan ada lomba hacking lokal di bandung yang diadakan beberapa lembaga pendidikan tinggi di Indoenesia,” ungkap Iwan.

Dengan keahlian yang ia miliki, tak berarti keringat Iwan dihargai dengan materi secara proporsional. Pada tahun 1995, pemilik sebuah lembaga pendidikan komputer di Bandung yang kebetulan adalah kenalannya mendatanginya. Dia kelabakan menghadapi tahun ajaran baru karena harus meng-update database-nya. “Dia minta tolong saya untuk menginstall server dan aplikasi dengan 500 user dan dikasih waktu 2 minggu,” kenang Iwan.

Masalahnya ternyata “sepele”. Password jaringan itu dipegang oleh admin yang kabur. “Kalau masalahnya itu, saya hanya butuh waktu 1 menit, tinggal riset password saja,” katanya saat itu pada sang teman. Iwan membuktikan ucapannya. Sayangnya, sang kenalan yang tak menepati janji. “Katanya dia mau ngasih Rp 7 juta. Begitu selesai saya hanya dikasih Rp 100 ribu,” katanya sembari tersenyum masam.

Lelaki kelahiran Jakarta, 22 November 1966 ini mengaku sempat kecewa kala itu. “Tidak semua orang mengerti bagaimana menghargai waktu dan ilmu,” ucapnya. Sebelumnya si kenalan sudah mencoba meminta bantuan ke orang lain.

Tahun 2005, Iwan dan beberapa temannya sempat membangun Sistem Informasi Aset Daerah milik Pemda Tasikmalaya. Nilai proyek itu Rp 600 juta, tapi ia hanya menjual sistem tersebut Rp 60 juta. “Sudah banyak tangan, saya itu subkontrak level ke empat,” katanya terkekeh.

Oleh Telkom, pada Januari 2007 ia diminta untuk mempresentasikan assessment security. Iwan diminta untuk melakukan penetration testing, yaitu menembus keamanan sistem jaringan milik Telkom. Pada hari dan jam yang berbeda, beberapa hacker lain juga diundang. Namun karena hanya ia yang berhasil mendeteksi kelemahan jaringan tersebut akhirnya ia mendapatkan proyek assessment security. Ia mengerjakan proyek itu bersama ketiga temannya. Dari Telkom ia mendapatkan Rp 27,5 juta.

Like Father Like Sons
Like Father Like Sons. Keahlian dan hobi Iwan terhadap dunia hacking menular pada ketiga anaknya. Sejak kelas 5 SD, Yahya A.F. Al Fath, Aiman A.F. Al Fath, dan Baasyir B. Al Bantani sudah fasih terhadap IT, khususnya hacking. Ketertarikan terhadap komputer lantaran sejak kecil mereka sering memperhatikan ayahnya yang sedang bekerja di depan komputer.

Di usia segitu, ketiga anaknya sudah bisa diajarkan pengetahuan dasar tentang operating system, misalnya windows, mengerti command-command, Tool VSPIP, dan mengerti eksploitasi kelemahan di suatu sistem. “Tapi jangan dipaksakan, biar mereka meminatinya sendiri. ketika sudah berminat baru diarahkan,” saran Iwan.

Awalnya, ketertarikan anak-anak dengan komputer kebanyakan hanya untuk bermain games. “Games itu menyita waktu, pikiran dan konsentrasi anak. Saat harus belajar mereka sudah jenuh karena pikiran dan konsentrasinya sudah ke games. Saya tidak ingin seperti itu dan mencoba menyalurkannya ke arah yang baik,” katanya.

Iwan pun merancang sebuah permainan hacking. Enam komputer miliknya yang juga digunakan untuk kursus, ia hubungkan dalam satu jaringan. “Saya menyembunyikan sebuah gambar, dan anak-anak saya harus menemukan gambar tersebut,” terangnya. Dari situlah anak-anaknya menggemari hacking.

Dari sisi psikologis si anak, tidak ada perbedaan dengan anak yang lain meski mereka menghabiskan sebagian waktunya di depan komputer. Sebab, namanya anak-anak, sifat kekanakan tetap mendominasi. Ini bisa dilihat dari tingkat keseriusan yang rendah. “Makanya saya berikan materi-materi yang tidak terlalu memaksakan ia untuk berpikir. Kalau dipaksakan takutnya malah terhambat dari aspek kejiwaan,” jelas Iwan. Di lain sisi, ketiga anaknya tetap bisa bermain dengan teman-temannya, misalnya bermain sepeda, tambahnya.

Yahya mulai memencet tuts-tuts keyboard sejak kecil, sebelum ia masuk SD. Saat itu ia hanya tertarik bermain games. Begitu masuk SD, ia mulai tertarik dengan program dan aplikasi lain seperti Microsoft Word. Saat itulah sang ayah mulai melarangnya bermain games. Ia mengenal Programming saat kelas 1 SMP, namun baru belajar hacking saat kelas 3 SMP.

Untuk bisa hacking, programming dan jaringan adalah syarat mutlak dan harus dikuasai. Bagi Yahya, yang paling sulit adalah analisis jaringan dan pengecekan program. “Tapi sekarang sudah bisa,” katanya. Hacking tak hanya ia pelajari dari ayahnya tapi juga belajar sendiri dari internet.

Kala SMP inilah, Yahya mulai berbisnis kecil-kecilan. Kesukaannya bermain games menggiringnya untuk mencari cheat lewat internet. Saat berhasil, teman-temannya berbondong-bondong meminta cheat games untuk PC dan PS padanya. Naluri bisnis yang ditularkan sang ayah, membuat Yahya tak memberikan cheat-cheat tersebut secara cuma-cuma. Kode cheat ia print dan perbanyak. Setiap kode cheat ia jual Rp 1000. Dari situlah ia mendapatkan tambahan uang jajan.

Hacking tak lagi sekadar hobi bagi Yahya. Keseriusannya mendalami dunia itu membuatnya memilih untuk melanjutkan sekolah di SMKN 4 Bandung, sebuah sekolah Kejuruan Informatika. Di sekolah ini, ia memilih Jurusan Rekayasa Perangkat Lunak.

Disini, ia diajarkan tentang programming dan mendapatkan latihan hacking. Lantaran bukan hal aneh baginya, tidak ada kesukaran baginya dalam soal semacam ini. Malah gurunya pun takjub atas kemampuannya. “Guru-gurunya nggak jago-jago amat,” katanya pelan.

Tak aneh, Yahya jadi idola baru di sekolahnya. “Teman-teman sering minta diajar,” katanya bangga.

Menguasai teknik hacking bagi anak seusianya bukan tanpa godaan. Ketika duduk di kelas 1 SMKN 4 Bandung, seorang teman sekolahnya menemukan kartu kredit. Lantas Yahya pun dibujuk untuk mengkrack kartu uang tersebut. Teringat larangan ayahnya, ia tidak mau terayu. “Sampe sekarang saya masih sering dibujuk,” bisiknya.

Namun, ia pernah juga kepikiran untuk menjadi carder. Kala itu, ABG ini naksir seorang cewek. Cerita punya cerita, ia janjian untuk ngedate dengan sang pujaan. “Pas mau ngapel nggak ada duit pisan,” katanya menerawang. Namun niat itu urung dilaksanakan. Tak ayal, ngedate pertamanya diongkosi sang cewek. Derita hatinya berbuah manis. “Akhirnya jadian juga sampe sekarang,” tuturnya sembari tersipu malu.

Yahya sempat mengikuti sebuah kompetisi hacking tingkat lokal. Saat itu, targetnya adalah menjebol server games counter strike. Menangkah ia waktu itu? “Ya begitulah,” tuturnya merendah. Berbeda dengan urusan cewek, keberhasilannya kali ini lebih karena kemampuannya.

Dari situlah kepercayaan dirinya semakin meningkat. Sialnya, saat NHC Pertama digelar, ia sedang terbaring sakit. Otomatis, kesempatannya untuk menjajal kemampuan hilang sudah. Namun ia tak patah arang dengan terus mengasah kemampuannya. Alhasil, saat NHC Kedua digelar di Bandung ia menyabet gelar Juara Pertama. “Saat itu saya ikut dalam tim bersama A’ Helmi,” jelasnya. Helmi adalah jawara NHC Pertama untuk wilayah Bandung, yang juga temannya di Web Secure Community.

Meski tak sendiri, ia baru bisa menjebol server itu lewat 15 menit dari waktu yang ditentukan panitia yang hanya 1 jam. Buat Yahya, kesukaran NHC kali ini ada pada analisis jaringan. “Pada saat pink (request komputer lain -red) tidak terdeteksi sehingga membutuhkan paket lain untuk itu,” jelasnya.

Sebagai anak sulung, ia sering mengajak bermain adik-adiknya. Dasar hacker family, permainannya pun bukan layaknya anak-anak lain. Di rumah ia sering mengusili komputer Aiman yang terhubung dalam satu jaringan dengan komputer miliknya. Usil ini acapkali disambut bagai gayung. Aiman dan dirinya pun saling beradu jago menjebol sistem komputer saudaranya. Keisengan ini berhenti tatkala Aiman melanjutkan SMP di Jogja. Sedang Baasyir masih terlalu kecil untuk diusili.

Disamping kesibukannya menghadapi grand final HNC di Jakarta 1 Agustus mendatang, Yahya sedang mencoba menerobos sebuah situs yang masih ia rahasiakan. “Niatnya kasih tahu admin-nya kalau ada kesalahan,” jelasnya. Soal ini, Yahya sudah cukup berpengalaman. Malah situs milik sekolahnya pernah jadi sasaran. “Ada beberapa kelemahan di situs sekolah,” katanya. Namun, demi keamanan, ia tak mau buka mulut lebih lebar soal ini.

Dunia hacking tampaknya sudah jadi pilihan buat Yahya. Niatnya, ia ingin melanjutkan kuliah di ITB. Namun saat ini ia tak bercita-cita jadi orang kaya dengan kemampuannya ini. “Saya ingin membuat hacker dianggap tidak jahat sama orang,” katanya. Caranya, ia bergabung dengan Web Secure Community dan rajin mengikuti kompetisi hacking.

Aiman, anak kedua Iwan mengikuti NHC Pertama dan Kedua. Meski tidak menjadi juara, ia sempat menarik perhatian banyak orang karena usianya yang teramat muda, 13 tahun.
“Aiman bidangnya keagamaan, dan interaksi dengan komputer jarang. Untungnya, di Islamic Centre bin Baaz, Bantul, siswa kelas 3 SMP ini mempunyai teman yang memiliki hobi yang sama. “Aiman memang lebih ke menyalurkan hobi, jadi belum fokus,” kata Iwan.

Sedangkan anak ketiganya, Baasyir B. Al Bantani tak mau kalah dari kedua kakaknya. Siswa kelas 6 SD berusia 10 tahun ini juga sudah jago ngehack. Meski begitu, Iwan belum mengikutsertakannya di kompetisi hacking. “Tahun depan rencananya akan diikutsertakan di NHC,’ kata Iwan.

Meski layak dilibatkan, Iwan mengaku enggan membawa anak-anaknya dalam dunia profesi yang ia geluti. “Nanti saya menyalahi aturan larangan pekerja anak,” tutur dosen mata kuliah Keamanan Sistem Informasi ini.

Agar tidak menyimpang, Iwan lebih mengarahkan mereka ke mentalitas berdasarkan agama. “Saya ingin anak saya jadi anak yang soleh. Jika jadi pejabat dia tidak korup, jika jadi pedagang dia tidak curang, jika jadi hacker, yang baik,” harapnya.
Iwan juga protektif dengan data milik Yahya. Laptop kepunyaan anaknya ini selalu di sidak (inspeksi mendadak). Mujur bagi Iwan, sampai saat ini buah hatinya tidak berjalan ke arah pronografi, cracker, dan carder.

Iwan patut bersyukur punya istri lulusan SI Informatika Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia Jepang (LPKIJ). Sehingga tidak pernah komplain atas aktifitas suami dan anaknya. “Dulu istri saya malah sempat main security. Tapi semenjak punya anak, lebih fokus ke anak,” kata Iwan.

7 comments:

Anonymous said...

Assalamu'alaikum :D

he..he.. pengen juga nih....punya keluarga hacker...

Salam buat Pa' Iwan dan Keluarga,
Semoga Rahmat dan Berkah ALLAH SWT kepada beliau dan keluarga..Amin

jalan2 ke sini http://ciwank.com/?pilih=hal&id=2

Wassalam

riswan 'ciwank' :D

tedybanka said...

Walaikum salam

Bang Riswan anak web secure ya?
hehehe, lg blajar nulis bang.

Amin...


Wassalam

Kang Manshur said...

maaf kang kalo alamat komunitas hacker bandung pa ya???

Anonymous said...

askum...
hehehe, lucu juga baca tulisannya, kompak gitu loh...
maju terus keluarga hacker. :)
wslm...

kbh said...

sehat slalu n berkah slalu untuk keluarga bapak..
Allahumma amien..

UNPRI BIKERS COMMUNITY said...

nie blog curhat yach ommm???

gaulglobal said...

brang kali ada yang masih punya copy metaframe 1.8 atau metaframe xp please contact